“Negara tanpa pemimpin,
negara tanpa nahkoda”
Bunyi slogan dan spanduk
yang terpasang di beberapa titik di Kapal pada awal Agustus lalu kemudian
menjadi perbincangan hangat. Istilah negara tanpa pemimpin, negara tanpa
nahkoda, kemudian dikenal sebagai negara autopilot. Istilah yang bernada
sarkastis itu bermakna negeri ini berjalan nyaris tanpa pemimpin.
Rakyat di negeri ini
niscaya bisa hidup dan mengurus diri sendiri tanpa perlu adanya kehadiran
pemerintah. Toh, ketika rakyat kehilangan harta benda, mereka nyaris tak pernah
melapor kepada aparat kepolisian karena adagium “kemalingan ayam, hilang
kambing” begitu lekat di benak rakyat.
Ketika rakyat tertindas
dan diambil haknya, mereka tidak mau berperkara di pengadilan. Di negara ini
peradilan bak belantara mafia yang hanya berpihak kepada pemilik kekuasaan dan
uang. Dengan kondisi seperti ini, siapa yang butuh pemimpin?Negara ini bak berjalan sendiri tanpa kontribusi para
pemimpinnya. Setiap kali
masalah datang menghadang,
masyarakatlah yang dituntut untuk menyelesaikannya,
entah itu dengan cara damai, ataupun kekerasan.
Ketika rakyat marah,
pemerintah berbicara lewat moncong-moncong senjata untuk membungkam. Rakyat tak
gentar dan membalas dengan serangan yang lebih hebat dengan dukungan massa yang
lebih besar. Lihatlah kasus penembakan di Pelabuhan Sape dan berakhir dengan
pembakaran kantor bupati di Bima oleh massa. Ini membuktikan bahwa rakyat di
sana tak butuh pemerintah daerah.
Selama ini rakyat
terkesan dan merasakan berjalan sendiri, berjuang sendiri untuk mengatasi
kemiskinan, kemelaratan dan ketidakadilan dengan caranya sendiri. Enak betul
jadi pemerintah di negeri ini. Pemerintah sepertinya tak perlu repot-repot
mengatur negara. Ibarat pesawat yang bergerak
dengan autopilot, negara ini dapat berjalan otomatis tanpa
pemerintahan.
Negara Gagal
Pemerintahan saat ini dituding lebih mengutamakan pencitraan ketimbang
kepentingan rakyat. Lembaga wakil rakyat seperti DPR, justru tidak mencerminkan sebagai wakil
rakyat. Tudingan sebagai lembaga yang korup, bergaya hidup hedonis, skandal
korupsi, mafia anggaran, tuntutan fasilitas yang mengada-ada, hingga permintaan
pembangunan gedung yang baru. Lembaga legislatif pun dituding sibuk mengurusi kepentingan mereka sendiri.
Bangsa dan negara ini
sudah sangat lama dililit aneka macam kebobrokan yang membekap semua lini
kehidupan masyarakat, di lini ekonomi, sosial, hukum, politik, kehormatan
bangsa dan lain-lain. Karena itu, banyak kalangan melabelkan negara ini sebagai
negara gagal, negara lemah, atau yang belakangan ini dikatakan sebagai negera
autopilot.
Padahal negara ini,
sebagaimana juga negara-negara lainnya, didirikan dan dibentuk berdasarkan
suatu kontrak sosial, yang mengatakan negara memberi perlindungan kepada
segenap warga negara dan seluruh tumpah darah sebagai kewajiban utamanya.
Sebagai imbangannya warga negara berkewajiban patuh kepada negara dengan
mengikuti peraturan-peraturan yang digariskan negara dalam kontrak sosial itu.
Di Indonesia, fungsi,
tugas, dan peran negara sebagai pelindung dan pemberi jaminan keamanan dan
pencipta kesejahteraan diamanatkan dalam UUD 1945, maka segala ketidakadilan
dan ketidaksejahteraan rakyat merupakan pengabaian tugas, fungsi, dan peran
negara terhadap kontrak sosial bernegara.
Pemerintah yang tidak
menjalankan fungsi dan tugas-tugasnya dikatakan juga sebagai negera autopilot
atau sebagai negara gagal. Mengapa? Sebab dalam teori kontrak sosial Thomas
Hobbes, John Lock, dan Jean Jaeques Rousseau, yang kemudian dipadukan dalam UUD
1945 mengatakan tujuan didirikan negara adalah to protect its people
from violence and other kinds of harm (untuk melindungi warga negara
dari segala bentuk kekerasan, ketidaknyamanan, atau lainnya).
Bagaimana indikasi
sesungguhnya yang memotretkan negara gagal itu? Menurut sebuah studi yang
dilakukan World Economic Forum dan Universitas Harvard (2002) terhadap 59
negara (Indonesia termasuk di dalamnya), berhasil dicirikan apa itu negara
gagal: tingginya angka kriminalitas dan kekerasan publik, suap dan korupsi
merajalela, kemiskinan masyarakat yang merebak, dan ketidakpastian yang tinggi.
Memimpin dan Menderita
Setiap penyelenggara
negara harus paham bahwa dirinya ibarat seekor tuna di lautan hiu. Dirinya
secara permanen selalu berada di bawah tekanan, kritikan dan celaan rakyat.
Apalagi ketika ketakadilan merajalela. Kita harus paham satu hal. Wibawa tak
dapat dibeli. Kebijakan tak dapat diserahkan kepada konsultan untuk dipikirkan
dan dibedaki. Kemiskinan tidak sekadar angka-angka statistik yang mudah
direkayasa.
Saat ini rakyat gampang
sekali marah, mengganas, membakar dan anarkhis ketika republik seperti berjalan
tanpa nahkoda. Mereka mengganas ketika pemerintah seakan tak hadir untuk
mereka. Republik ini gemuk instruksi tetapi kurus implementasi. Lembaga lahir
dan mati silih berganti. Alih-alih mengatasi kemiskinan struktural, kita lebih
suka membuat struktur baru yang memboroskan anggaran.
Penyelenggara negara
terlalu anonim untuk dijadikan tertuduh. Setiap kapal pasti punya nahkoda.
Setiap negara punya kepala negara. Kepala negara dituntut mengendalikan
republik saat badai. Dia juga dituntut dapat mengantisipasi badai dan segala
gelombang samudera.
Para pemimpin di negeri
ini harus memahami kredo dari KH Agus Salim, “leiden is lijden” (memimpin
adalah menderita). Kredo tersebut terasa otentik mewakili ketulusan zamannya.
Segera terbayang penderitaan Jenderal Soedirman yang memimpin perang gerilya di
atas tandu. Setabah gembala ia pun berpesan, ”Jangan biarkan rakyat menderita,
biarlah kita (prajurit, pemimpin) yang menderita.”
Zaman sudah terbalik.
Suara-suara kearifan seperti itu terasa asing untuk iklim sekarang. Kredo
pemimpin hari ini, ”Memimpin adalah menikmati”. Menjadi pemimpin berarti berpesta
di atas penderitaan rakyat. Demokrasi Indonesia seperti baju yang dipakai
terbalik, mendahulukan kepentingan lapis tipis oligarki penguasa-pemodal
ketimbang kepentingan rakyat kebanyakan.
Banyak orang berkuasa
dengan mental jelata, mereka tak kuasa melayani, hanya bisa dilayani. Bagi
pemimpin bermental jelata, dahulukan usaha menaikkan gaji dan tunjangan
aparat-birokrat-pejabat, bangun gedung dan ruangan mewah agar wakil rakyat tak
berpeluh-kesah, transaksikan alokasi anggaran untuk memperkaya penyelenggara
negara dan partai, pertontonkan kemewahan sebagai ukuran kesuksesan, utamakan
manipulasi pencitraan.
Cukup rakyat saja yang
menanggung beban derita. Biarkan rakyat Lebak, Banten, tetap hidup mengenaskan
seperti zaman penjajahan. Anak-anak bangsa terus bergelantungan meniti jembatan
reot, menantang maut menuju sekolahnya. Biarkan petani tergusur dari lahannya.
Biarkan rakyat di sekitar pertambangan mengalami kerusakan lingkungan. Biarkan
rakyat kecil dihukum berat karena tak mampu membeli “keadilan”.
Kelak, anak cucu kita
hanya akan mendengar dari dongeng tentang sebuah negeri yang gemah ripah loh
jinawi. Namun pada masanya mereka tidak akan pernah mendapati lagi ubi, beras,
singkong, jagung, padi, tahu dan tempe, karena makanan tersebut kelak harus
mereka beli dari luar negeri dengan harga yang tidak semua orang mampu
menjangkau.
Marilah berdoa menirukan
munajat para penjelajah bahari di abad kesilaman nusantara, ”Ya Tuhan,
selamatkan kami. Lautan di Tanah Air ini luas dan ombaknya ganas menerjang. Bahtera
kami oleng, sedang nahkodanya mencari selamat sendiri!” ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar